Sabtu, 14 Februari 2009

PERANAN MUHAMMAD ABDUH


Muhammad bin Abduh bin Hasan dilahirkan di desa Mahallat Nashr, Al-Buhairoh, Mesir pada tahun 1849 M. Dia murid kesayangan Jamaluddin Al-Afghani. Dia wafat pada tahun 1905.
Aqal dan Wahyu
Menurut DR. M. Quraisy Syihab dalam Studi Kritis Tafsir Al-Manar terbitan Pustaka Hidayah tahun 1994 halaman 19, ada dua pemikiran pokok yang menjadi fokus utama pemikiran Muhammad Abduh, yaitu:
1. Membebaskan aqal fikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana haqnya salaful ummah, yakni memahami langsung dari sumber pokoknya, Al-Qur’an dan Hadits. [Wajarlah jika para pengikutnya beranggapan bahwa setiap orang boleh berijtihad, admin]
2. Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor pemerintahan maupun dalam tulisan-tulisan di media massa. [Hal ini juga merupakan salah satu point yang ditekankan Hasan Al-Banna yang merupakan salah satu pengagum Muhammad Abduh dan Al-Manarnya, admin.]
Dua persoalan pokok itu muncul ketika ia meratapi perkembangan ummat Islam pada masanya. Sebagaimana dijelaskan Sayyid Qutub, kondisi ummat Islam saat itu dapat digambarkan sebagai, “suatu masyarakat yang beku, kaku, menutup rapat-rapat pintu ijtihad, mengabaikan peranan aqal dalam memahami syari’at Allah atau mengistimbatkan hukum-hukum, karena mereka telah merasa cukup dengan hasil karya para pendahulunya yang juga hidup dalam masa kebekuan aqal (jumud), serta yang berdasarkan khurafat-khurafat.” [Sayyid Qutub, Khasha'ish At-Tashawwur Al-Islam, hal. 19]
Lihatlah bagaimana Sayyid Qutub menilai para ulama shalih. Lihatlah bagaimana dia mengedepankan aqal dan mengajak ummat pada umumnya untuk berijtihad. Padahal tidak semua orang punya kapasitas sebagai mujtahid. Bahkan tidak semua ulama dan santri mencapai derajat mujtahid. Pemikiran keliru yang mengajak ummat untuk berijtihad atas nama kebebasan berfikir ini telah diterima sebagian pemuda yang umumnya lemah aqal. Dan tentu saja pemikiran menyimpang seperti ini sangatlah berbahaya dan menyesatkan.
Atas dasar kedua fokus fikirannya itu, Muhammad Abduh memberikan peranan yang sangat besar kepada aqal. Begitu besarnya peranan yang diberikan olehnya sehingga Harun Nasution menyimpulkan bahwa Muhammad Abduh memberi kekuatan yang lebih tinggi kepada aqal daripada Mu’tazilah. [Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional, UI Press, 1978, hlm. 57]
Menurut Muhammad Abduh, aqal dapat mengetahui hal-hal berikut ini:1. Tuhan dan sifat-sifat-Nya.2. Keberadaan hidup di akhirat.3. Kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada upaya mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedangkan kesengsaraannya bergantung pada sikap tidak mengenal Tuhan dan melakukan perbuatan jahat.4. Kewajiban manusia mengenal Tuhan.5. Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaan di akhirat.6. Hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.
Dengan memperhatikan pandangan Muhammad Abduh tentang peranan aqal di atas, dapat diketahui pula bagaimana fungsi wahyu baginya. Baginya, wahyu adalah penolong (al-mu’in). Kata ini ia pergunakan untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi aqal manusia. Wahyu, katanya, menolong aqal untuk mengetahui sifat dan keadaan kehidupan alam akhirat; mengatur kehidupan masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya; menyempurnakan pengetahuan aqal tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya; dan mengetahui cara beribadah serta bersyukur kepada Tuhan. [Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional, UI Press, 1978, hlm. 58-61]
Dengan demikian, wahyu bagi Muhammad Abduh berfungsi sebagai konfirmasi, yaitu untuk menguatkan dan menyempurnakan pengetahuan aqal dan informasi. Lebih jauh, Muhammad Abduh memandang bahwa menggunakan aqal merupakan salah satu dasar Islam. Iman seseorang tidak sempurna kalau tidak didasarkan pada aqal. Islam, katanya, adalah agama yang pertama kali ‘mempersaudarakan’ antara aqal dan agama. Menurutnya, kepercayaan kepada eksistensi Tuhan juga berdasarkan aqal. Kemudian dia beranggapan bahwa wahyu yang dibawa Nabi tidak mungkin bertentangan dengan aqal. Kalau ternyata antara keduanya terdapat pertentangan, menurutnya, terdapat penyimpangan dalam tataran interpretasi, sehingga diperlukan interpretasi lain yang mendorong pada penyesuaian.
Kebebasan Manusia
Dalam paham Ahlus Sunnah, manusia bebas untuk memilih, namun Allah yang menciptakan/mewujudkan perbuatan manusia. Ada pun dalam paham Mu’tazilah dan Qodariyah, manusia bebas untuk memilih dan manusia pula yang mewujudkan perbuatannya. Lalu bagaimana dengan Muhammad Abduh? Apakah ia cenderung kepada Ahlus Sunnah, atau justeru cenderung kepada Mu’tazilah?
Bagi Muhamamd abduh, di samping mempunyai daya fikir, manusia juga mempunyai kebebasan memilih, yang merupakan sifat dasar alami yang ada dalam diri manusia. Kalau sifat dasar ini dihilangkan dari dirinya, maka ia bukan manusia lagi, tetapi makhluq lain. Manusia dengan aqalnya mampu mempertimbangkan akibat perbuatan yang dilakukannya, kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri, dan selanjutnya mewujudkan perbuatannya itu dengan daya yang ada dalam dirinya. [Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional, UI Press, 1978, hlm. 65] Sungguh mirip paham mu’tazilah.
Karena yaqin akan kebebasan dan kemampuan manusia, Abduh melihat bahwa Tuhan tidak bersifat muthlaq. Tuhan telah membatasi kehendak muthlaq-Nya dengan memberi kebebasan dan kesanggupan (qudrah) kepada manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Kehendak muthlaq Tuhan pun dibatasi oleh sunnatullah secara umum. Ia tidak mungkin menyimpang dari sunnatullah yang telah ditetapkan-Nya. Di dalamnya terkandung arti bahwa Tuhan dengan kemauan-Nya sendiri telah membatasi kehendak-Nya dengan sunnatullah yang diciptakan-Nya untuk mengatur alam ini. [Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional, UI Press, 1978, hlm. 75 dan 77]
Muhammad Abduh sefaham dengan Mu’tazilah yang beranggapan bahwa wajib bagi Tuhan untuk berbuat apa yang terbaik bagi manusia. [Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional, UI Press, 1978, hlm. 80]

Sumber: Free Hot Article
PEMIKIRAN PEMBAHARUAN MUHAMMAD ABDUH
Syekh Muhammad Abduh adalah salah seorang murid Jamaluddin al- Alafghani yang cerdas dan cemerlang. Berbeda dengan sang guru, ia menyusun teoriaktualisasi dan realisasi Islam, bukan dengan terllebih dahulu merebut kekuasaan politik dan melakukan kontrol sosial. Dalam pandangan Abduh, untuk melakukan konsep diatas, hal pertama yang harus dilakukan dunia Islam adalah menyadarkan kembali pada kemampuan dan kebebasan pemikiran rasional manusia dikalangan masyarakat Islam. Caranya dengan menyadarkan dan membangkitkan semangat berpikir masyarakat Islam islam melalui pendidikan dengan mengobarkan semangat ijtihad, sebagaimana jalan yang telah ditempuh oleh Ibnu Taimiyah.
Muhammad Abduh dengan semangat baja berhasil memasukkan mata kuliah filsafat pada kurikulum Universitas al- Azhar di kairo Mesir. Pandangan abduh tersebut akhirnya membangkitkan kesadaran perlunya lembaga pendidikan sebagai wahana peningkatan kemaampuan pemikiran rasional sebagai salah satu faktor berijtihad. Usaha Abduh akhirnya mampu melahirkan pemikiran - pemikiran kreatif daalm kalangan masyarakat Islam pada periode generasi sesudahnya. Dari kuliah dan tulisan Muhammad Abduh dapat dilihat kecenderungan untuk menyajikan nilai- nilai Islam dalam suatu bahasan secara filosofi dan akhirnya memasuki pemikiran modern yang intelektualistik.
Sumber: Buku KHAZANAH SKI kelas XII TIGA SERANGKAI
IDE-IDE PEMBARUAN MUHAMMAD ABDUH
Muhammad Abduh diusir oleh pemerintah Mesir karena ulahnya yang menebar semangat anti-kolonialisme dan idi-ide tentang kebangkitan dunia Islam. Dia pergi ke Paris, sesampainya di Paris dia bertemu gurunya yang ternyata gurunya juga diusir. Akhirnya mereka mendirikan sebuah pekumpulan yang bernama al-Urwah al-al-Wusqa, yakni perkumpulan yang terdiri dari kaum muslim dari India, Mesir, Suriah, negeri-negeri di Afrika Utara, dan wilayah islam lainnya. Tujuan perkumpulan itu antara lain memperkuat persaudaraan Islam, membela Islam, dan membawa umat Islam kepada kemajuan. Agar idi-ide mereka dapat terdengar oleh kaum Islam di dunia, perkumpulan itu kemudian menerbitkan majalah yang diberi nama al-Urwah al-al-Wusqa.
di masa selanjutnya, ide-ide pembaruan Muhammab Abduh dan Al-Afgani menjadi inspirasi para cindekiawan dan pemikiran muslim kontemporer Muhammad Husein, Tahan Husain, dan Mustafa Abdul Raziq.
Sumber: SKI XII INSAN MADANI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar